TATARAN LINGUISTIK
Ѽ MARFOLOGY Ѽ
INTRODUCTION TO GENERAL LINGUISTIC
Lecturer :
Heni Subagiharti,M.Hum
By :
SRI HASTUTI
14052001
TEACHERS’
TRAINING AND EDUCATION FACULTY
U N I V E R S I T
Y O F A S A H A N
KISARAN
2015
TATARAN
LINGUISTIK (2); MORFOLOGI
Kita kembali
dulu melihat arus
ujaran yang diberikan
pada bab fonologi
yang lalu [kedua orang itu meninggalkan ruang sidang meskipun rapat
belum selesai]. Secara bertahap kita
telah kita segmentasikan arus
ujaran itu, sehingga akhirnya
kita dapatkan satuan
bunyi terkecil dari
arus ujaran yang disebut
fonem. Beberapa jumalah fonemyang terdapat arus ujaran tersebut, tentu anda
dapat menghitungnya sendri. Di atas
satuan fonem yang
fungsional itu ada
satuan yang lebih
tinggi, yang disebut
silabel. Tetapi silabel
tidak bersifat fungsional, hanyalah satuan
ritmis yang ditandai
dengan adanya satu
sonoritas atau puncak kenyaringan. Berapa banyang silabel
pada arus ujaran di atas, dapat pula dihitung kalau anda sudah memahami konsep
silabel pada bab lalu.
Di
atas satuan silabel
itu secara ada
satuan lain yang
fungsional yang disebut
morfem. Sebagai satuan fungsional, morfem merupakan satuan
gramatikal terkecil yang
mempunyai makna. Dalam bab morfologi
ini akan dibicarakan seluk beluk morfem itu, bagaimana menentukan sebuah bentuk
adalah morfem atau bukan, bagaimana morfem-morfem itu berproses menjadi kata,
yaitu satuan terkecil di dalam sintaksis. Karena dalam
proses morfemis atau
proses morfologis itu akan
terlibat juga persoalan
fonologi, maka akan
dibicarakan juga proses
yang disebut morfofonemi, atau
proses morfofonologi, atau morfonologi.
5.1. MORFEM
Tata
bahasa tradisional tidak mengenal konsep maupun istilah morfem, sebab morfem
bukan merupakan satuan dalam sintaksis,
dan tidak semua morfem mempunyai makna filosofis. Konsep morferm baru
diperkenalkan kauam strukturalis pada awal abad ke-20.
5.1.1 Identifikasi
Morfem
Untuk
menentukan sebuah
bentuk adalah morfem
atau bukan, kita harus
membandingkan bentuk tersebut
di dalam kehadirannya dengan
bentukbentuk lain apabila
bila hadir secara
berulangulang dengan bentuk
lain. Kalau bentuk tersebut ternyata bisa hadir berulang-ulang dengan
bentuk lain, maka bentuk tersebut
adalah sebuah morfem. Sebuah contoh kita ambil bentuk
[kedua], dalam ujaran diatas. Ternyata bentuk [kedua] dapat kita
banding-bandingkan dengan bentukbentuk sebagai berikut:
(1)
kedua
ketiga
kelima
ketujuh
kedelapan
kesembilan
kesebelas
Ternyata semua
bentuk ke pada
daftar diatas dapat
disegmentasikan sebagai satuan
tersendiri dan yang mempunyai
makna yang sama, yaitu menyatakan tingkat dan derajat. Dengan demikian bentuk
ke pada daftar di atas, karena merupakan bentuk terkecil
yang berulang-ulang dan mempunyai makna yang sama, bisa disebut
sebagai sebuah morfem. Sekarang perhatikan bentuk ke pada
daftar berikut (disini aturan ejaan tidak diindahkan).
(2)
kepasar
kekampus
kedapur
kemesjid
kealun-alun
keterminal
Ternyata
juga bentuk ke pada daftar di atas dapat disegmentasikan sebagai satuan
tersendiri dan juga mempunyai arti yang sama, yaitu menyatakan arah dan tujuan.
Dengan demikian ke pada daftar tersebut juga adalah sebuah morfem.
Masalah
kita sekarang adalah ke pada deretan kedua, ketiga, keempat dan seterusnya
dengan ke pada deretan kepasar, kekampus, dan seterusnya itu merupakan morfem
yang sama atau tidak sama. Dalam hal ini, karena makna bentuk ke pada kedua dan
kepasar tidak sama, maka kedua ke bukanlah morfem yang berbeda, meskipun
bentuknya sama. Jadi kesamaan arti dan kesamaan bentuk merupakan ciri atau
identitas sebuah morfem.
Sekarang
perhatiakn bentuk meninggalkan yang juga terdapat pada ujaran di atas; lalu
bandingkan dengan bentuk-bentuk lain yang ada dalam daftar berikut:
(3)
meninggalkan
ditinggalkan
tertinggal
peninggalan
ketinggalan
sepeninggalan
Dari
daftar tersebut ternyata ada bentuk yang sama, yang dapat disegmentasikan dari
bagian unsur-unsur lain. bagian yang sama itu adalah bentuk tinggal atau
ninggal (tentang perubahan bunyi t- menjadi bunyi n- akan dibicarakan pada
bagian lain). Maka, di sini pun bentuk tinggal adalah sebuah morfem, karena
bentuknya sama dan maknanya juga sama.
Untuk
menentukan sebuah bentuk adalah morfem atau bukan, kita memang harus mengetahui
atau mengaenal maknanya. Perhatikan contoh berikut:
(4)
menelantarkan
terlantar
lantaran
Kita
lihat, meskipun bentuk lantar terdapat berulang-ulang pada daftar tersebut,
tetapi bentuk lantar itu bukan lah sebuah morfem karena tidak ada maknanya.
Lalu, ternyata pula kalau bentuk menelantarkan memang punya bubungan dengan
terlantar, tetapi tidak punya hubungan dengan lantaran.
Dalam studi
morfologi suatu satuan
bentuk yang berstatus
sebagai morfem biasanya dilambangkan
dengan mengapitnya diantara
kurung kurawal. Misalnya,kata
Indonesia mesjid dilambangkan sebagai
{mesjid}; kata kedua dilambangkan
menjadi {ke} + {dua}. Selama morfem itu berupa morfem
segmental hal itu mudah dilakukan. Bentuk jamak bahasa Inggris books bisa
dilambangkan {book} + {s}. bangaimana bentuk untuk jamak feet (tunggalnya foot)
dan sheep (tunggalnya juga sheep)? Mungkin saja bisa menjadi {food} + {jamak}
dan {sheep} + {ϴ}. Atau dapat juga mengambil bentuk konkret dari morf bentuk
jamak itu, misalnya {-s}, sehingga menjadi {foot} + {-s} untuk feet; {sheep} +
{-s} untuk sheep; dan juga bisa {child} + {-s} untuk children.
5.1.2 Morf dan Alomorf
Sudah disebutkan
bahwa morfem adalah
bentuk yang sama
yang terdapat berulangulang dalam
satuan bentuk lain.
Sekarang perhatikan deretan
bentuk berikut:
(5)
melihat
menyanyi
merasa
menyikat
membawa
menggali
membantu
menggoda
mendengar
mengelas
menduda
mengetik
Kita lihat
ada bentukbentuk yang
mirip atau hampir
sama, tetapi kita
juga tahu bahwa maknanya juga
sama. Bentukbentuk itu
adalah me pada melihat dan
merasa , mem pada membawa dan membantu , men
pada mendengar dan menduda , meny
pada menyanyi dan menyikat ,
meng pada menggali dan menggoda ,
menge pada mengelas dan mengetik.
Pertanyaan kita sekarang
apakah me, mem, men, meny, meng, dan menge itu sebuah morfem atau
bukan, sebab meski maknanya sama
tetapi bentuknya tidak persis sama. Pertanyaan
itu bisa dijawab bahwa
keenam bentuk itu
adalah sebuah morfem, sebab meskipun bentuknya tidak
persis sama, tetapi
perbedaannya dapat
dijelasjan secara fonologis. Bentuk me
berdistribusi antara lain
pada bentuk dasar yang fonem awalnya konsonan
/l/ dan /r/;
bentuk mem berdistribusi
pada bentuk dasar yang fonem
awalnya konsonan /b/
dan /p/; bentuk men berdistribusi pada bentuk dasar
yang fonem awalnya
konsonan /d/ dan
/t/; bentuk meny berdistribusi
pada bentuk dasar yang
fonem awalnya konsonan
/s/; bentuk meng
berdistribusi pada bentuk dasar yang fonem awalnya konsonan /g/
dan /k/; bentuk menge berdistribusi pada bentuk dasar yang ekasuku.
Bentukbentuk realisasi
yang berlainan dari
morfem yang sama
ini disebut alomorf . Jadi, setiap
morfem tentu mempunyai alomorf ,
entah satu, entah
dua, atau juga enam
buah seperti yang
tampak pada data
di atas. Selain
itu, bisa juga dikatakan morf dan alomorf adalah dua
buah nama untuk
sebuah bentuk yang sama.
Morf adalah nama untuk
semua bentuk yang
belum diketahui statusnya; sedangkan alomorf adalah nama
untuk bentuk tersebut
kalau sudah diketahui status morfemnya.
Sehubungan dengan
alomorf me, mem,
men, meny, meng
, menge muncul masalah
apa nama morfem
untuk alomorfalomorf itu?
dalam tata bahasa tradisional nama
yang digunakan adalah
awalan me dengan
penjelasan, awalan me ini akan
mendapat sengau sesuai
dengan lingkungannya. Dalam
buku Tata Bahasa Baku Bahasa
Indonesia dipilih alomorf meng
sebagai nama morfem
itu, dengan alasan alomorf meng
paling banyak distribusinya. Namun, dalam studi linguistic lebih umum
disebut morfem meN- (dibaca: me- nasal; N besar berlambangkan Nasal).
Dalam
bahasa Inggris morfem jamak uang teratur membunyai alomorf:
(6)
/-s/ seperti pada kata cats /k ɇ ts/, books
/buks/ dan tacks /t ɇ ks/
/-z/ seperti pada kata dogs /dogz/, cows
/kauz/, dan hens /henz/
/-iz/ seperti pada kata horses /hﬤ:siz/, prize /praiziz/, dan rushes /r˄iz/
Di
samping yang teratur seperti di atas dalam buku bahasa Inggris banyak sekali
bentuk jamak yang tidak beraturan. Karena itu, kita tidak dapat merumuskan
kaidahnya seperti di atas. Paling-paling hanya dapat dikatakan, untuk feet
adalah {foot} + {jamak}; untuk women adalah {women} + {jamak}.
Partikel
{al} dalam bahasa arab mempunya dua brntuk alomorf. Yaitu (1) yang tetap
berbentu {al{, seperti al-hilal, al-Quran, al-insan, dan al-furqon dan (2) yang
berubah atau berasimilasi dengan fonem awal bentuk dasarnya, seperti ar-rahman,
at-taqwa, an-nisa, dan ay-syamsu.
5.1.3 Klasifikasi
Morfem
Morfemmorfem dalam
setiap bahasa dapat
diklasifikasikan berdasarkan beberapa
kriteria. Antra lain berdasarkan
kebebasannya, keutuhannya, maknanya, dan sebagainya. Berikut ini akan
dibicarakan secara singkat.
5.1.3.1 Morfem Bebas
dan Morfem Terikat
Biasanya,
pertama-tama orang membedakan adanya morfem bebas dan morfem terikat. Yang dimaksud
dengan morfem bebas
adalah morfem yang
tanpa kehadiran morfem
lain dapat muncul dalam
pertuturan. Dalam bahasa Indonesia, misalnya, bentuk pulang, makan, rumah, dan
bagus adalah termasuk morfem bebas. Kita dapat menggunakan morfem-morfem
tersebut tanpa harus terlebih dahulu mengabungkan dengn morfem lain.
Sebaliknya, yang dimaksud
dengan morfem terikat
adalah morfem yang
tanpa digabung dulu dengan
morfem lain tidak
dapat muncul dalam pertuturan. Semua afiks
dalam bahasa Indonesia
adalah morfem terikat.
Begitu juga dengan
morfem penanda jamak
dalam bahasa inggris,
seperti yang kita
bicarakan di atas, termasuk
morfem terikat. Untuk morfem terikat ini dalam bahasa Indonesia ada beberapa
hal yang perlu dikemukakan.
Berkenaan
dengan morfem terikat ini dalam bahasa Indonesia ada bebrapa hal yang perlu
dikemukakan. Yaitu:
Pertama,
bentukbentuk seperti juang,
henti, gaul, dan
baur termasuk morfem
terikat,meskipun bukan afiks, tidak
dapat muncul dalam
pertuturan tanpa terlebih
dahulu mengalami proses
morfologi, sperti afiksasi, reduplikasi, dan komposisi.
Bentuk-bentuk seperti ini lazim disebut bentuk prakategorial (lihat Verhaar
1978).
Kedua,
sehubungan dengan prakategorial di atas, menurut konsep
Verhaar (1978) bentukbentuk
seperti baca, tulis,
dan tendang juga
termasuk bentuk prakategorial,
karena bentuk-bentuk tersebut
baru merupakan “pangkal”
kata,sehingga baru bias
muncul dalam pertuturan sesudah
mengalami proses morfologi. Memang mungkin di sini akan timbul pertanyaan,
bukankah tanpa imbuhan apa-apa bentuk tersebut dapat muncul dalam kalimat
imperatif? Misalnya:
(7)
- Tulis nama mu disini!
-
Baca keras-keras!
-
Tendang kuat-kuat!
Menurut
Verhaar kalimat imperatif adalah kalimat ubahan dari kalimat deklaratif. Dalam
kalimat deklaratif aktif harus digunakan perfiks inflektif me-, dalam kalimat
deklaratif pasif harus digunakan perfiks infelktif di-, atau ter-; sedangkan
dalam kalimat imperatif, juga dalam kalimat partisif, harus digunakan perfiks
inflektif θ.
Ketiga,
bentukbentuk seperti renta, (yang
hanya muncul dalam
tua renta)dan kerontang (yang hanya muncul alam kering kerontang) juga
termasuk morfem terikat. Lalu, karena
hanya bias muncul dalam
pasangan tertentu, maka bentukbentuk tersebut disebut morfem unik. Di
sini barangkali perlu juga dicatat, dalam pengembangan istilah dewasa ini, beberapa
morfem unik seperti bugar itu mulai dikembangkan, sehingga ada istilah
kebugaran jasmani. Dengan demikian, sifat keunikannya menjadi lenyap.
Keempat, bentukbentuk
yang termasuk preposisi
dan konjungsi, seperti
ke, dari, pada,
dan, kalau, dan atau secara
morfologis termasuk morfem bebas, tetapi secara sintaksis merupakan bentuk
terikat.
Kelima,
yang di senut klitika merupakan morfem yang agak sukar di tentukan statusnya;
apakah terikat atau bebas. Klitika
adalah bentukbentuk singkat,
biasanya hanya satu
silabel, secara fonologis
tidak mendapat tekanan, kemunculannya
dalam pertuturan selalu
melekat pada bentuk
lain,tetapi dapat dipisahkan.
Misalnya, klitika –lah dalam bahasa
Indonesia, posisinya dalam kalimat
Ayahlah yang akan datang
dapat dipisah dari
kata ayah, misalnya menjadi
Ayahmulah yang akan
datang. Begitu juga klitikan –ku dalam kontruksi bukuku bisa dipisahkan
sehingga menjadi buku baruku. Menurut
posisinya, klitika dibedakan atas
proklitika dan enklitika. Proklitika adalah
klitika yang berposisi
di muka kata
yang diikuti, seperti ku dan kau
pada konstruksi kubawa
dan kuambil. Sedangkan enklitika
adalah klitika yang
berposisi di belakang kata yang dilekati, seperti –lah, nya, dan –ku
pada konstruksi dan dialah, duduknya, dan nasibku.
5.1.3.2 Morfem Utuh dan
Morfem Terbagi
Pembedaan keduanya
berdasarkan bentuk formal
yang dimiliki morfem
tersebut;apakah merupakan satu kesatuan
yang utuh atau
merupakan dua bagian
yang terpisah atau
terbagi, karena disisipi
morfem lain. Yang terasuk
morfem utuh, seperti {meja},{kursi},{kecil},{laut}, dan
{pinsil}.Begitu juga dengan sebagian
morfem terikat,seperti {ter}, {ber}, dan {juang}. Sedangkan morfem
terbagi adalah sebuah
morfem yang terdiri dari
dua buah bagian
yang terpisah. Misalnya,
kata Indonesia kesatuan
terdapat satu morfem
utuh, yaitu {satu} dan satu morfem terbagi, yakni {ke/an}. Kata
Belanda geberget “kepegunungan” terdiri dari satu morfem utuh, yaitu {berg} dan
satu morfem terbagi, yakni {ge-/-te}. Didalam bahasa Arab, dan juag bajhasa
Lbrani, semua morfem untuk akar verba adalah morfem terbagi, yaitu terdiri atas
tiga buah konsonan yang dipisahkan oleh tiga buah vokal, yang merupakan morfem
terikat yang terbagi pula. Misalnya, morfem akar terbagi {k-t-b} “tulis”
merupakan dasar untuk kata-kata:
Sehubungan
dengan morfem terbagi ini, untuk bahasa Indonesia, ada catatan yang perlu
diperhatikan, yaitu:
(8)
kataba ‘ia (laki-laki) menulis’
katabat ‘ia (perempuan) menulis’
katabta ‘engkau (laki-laki)
menulis’
katabti ‘engkau (permpuan) menulis’
katabtu ‘saya menulis’
maktabun ‘kantor, toko, buku, perpustakaan’
Pertama,
semua afiks yang disebut konfiks seperti (ke-/-an),(ber-/-an),(per-/-an), dan
(per-/-an) adalah termasuk morfem terbagi. Namun, bentuk {ber-/-an} bisa
merupakan konfiks, seperti pada bermunculan “banyak yang tiba-tiba muncul” dan
bermusuhan “saling memusuhi”, tetapi bisa juga bukan konfiks, seperti pada beraturan
“mempunyai aturan” dan berpakaian “mengenakan pakaian”. Untuk menentukan apakah
bentuk {ber-/-an} konfiks atau buak konfiks, harus diperhatikan makna gramtikal
yang disandang.
Kedua
, dalam bahasa Indonesia ada afiks yang disebut infiks yakni afiks yang
disisipkan ditengah morfem dasar. Misalnya (-er-) pada kata gerigi, infiks
(-er-) pada kata pelatuk. Dengan demikian infiks tersebut telah mengubah morfem
utuh (gigi) menjadi morfem terbagi (g-/-igi-) morfem utuh (patuk) menjadi
morfem terbagi (p-/-atuk). Dalam bahasa Indonesia infiks ini tidak produktif,
tetapi dalam bahasa Sunda morfem infiks ini sangat produktif; artinya, bisa
dikenakan pada kata benda apa saja.
5.1.3.3
Morfem
Segmental dan Suprasegmental
Perbedaan
morfem segmental dan morfem supramental berdasarkan jenis fonem yang
membentuknya. Morfem segmental adalah morfem yang di bentuk oleh fonemfonem segmental,
seperti morfem (lihat), (lah), (sikat), dan (ber). Jadi semua morfem yang
berwujud bunyi adalah morfem segmental . Sedangkan morfem suprasegmental,
seperti tekanan,nada, durasi dan sebagainya. Misalnya dalam bahasa Ngbaka di
Kongo Utara di Benua Afrika, setiap verba selalu disertai dengan petunjuk kala
(tenes) yang berupa nada. Aturannya, nada turu (\) untuk kala ini, nada datar
(-) untuk kala lampau nada turun naik (˅) untuk kala nanti, nada naik ( ̷ ) untuk bentuk imperatif.
Contoh:
(9)
|
kala kini
|
kala lampau
|
kala nanti
|
imperatif
|
makna
|
a
|
ā
|
ă
|
á
|
menaruh
|
|
wa
|
wa
|
wa
|
wa
|
membersihkan
|
|
sa
|
sa
|
sa
|
sa
|
memanggil
|
|
n ﬤn
ﬤ
|
n ﬤ n ﬤ
|
n ﬤ ń ﬤ
|
n ﬤ n
|
memakan
|
|
yòlò
|
yōlō
|
yòló
|
yóló
|
berdiri
|
Kita lihat di samping
morfem segmental {a} dengan arti ‘ menaruh’, ada empat morfem suprasegmental
yang menyebabkan keempat morfem itu bermakna: {a}, {ā} ‘sudah menaruh’, {ă}
‘akan menaruh, {á} ‘tarulah’!.
Bahasa
Burma, Cina dan Thai mempunyai morfem segmenta-suprasegmental. Artinya, morfem
itu dibangun oleh unsur segmental dan supramental sekaligus bersama-sama.
Misalnya, pada contoh berikut yang diambil dari bahasa Thai, kata-kata yang
berbeda maknanya dinyatakan dengan unsur segmental yang sama, yakni [mung],
tetapi nada yang berbeda, yakni nada netral (-), nada naik turun (˄), dan nada
naik ( ̷ ).
(10) mung ‘mengerumuni’
mung ‘mengarah
kepada’
mung ‘kelambu’
Perhatikan
baik-baik contoh bahasa Ngbaka dan bahasa Thai di atas. Dapatkan anda menangkap
perbedaanya? Dalam bahasa Indonesia tampaknya tak ada morfem suprasegmental
ini. Coba anda kaji bahasa daerah anda sendiri atau bahasa lain yang anda
kenal, adakah morfem suprasegmental di dalamnya.
5.1.3.4 Morfem
Beralomorf Zero
Dalam
linguistik deskriptif ada konsep mengenai morfem beralomorf zero atau no
(lambangnya θ), yaitu morfem yang salah
satu alomorfnya tidak
berwujud bunyi segmental
maupun berupa prosodi
(unsure suprasegmental),
melainkan berupa “kekosongan”. Perhatika ndata berikut:
(11) Bentuk Tunggal Bentuk Jamak
I
have a book I
have tow books
I
have a sheep I
have tow sheep
Kala Kini Kala
Lampau
They
call me They
called me
They
hit me They
hit me
Kita, lihat bentuk tunggal untuk
book adalah book dan bentuk jamaknya books; bentuk tunggal untuk sheep adalah
sheep dan bentuk jamaknya adalah sheep juga. Karena bentuk jamak untuk books
terdiri dari dua buah morfem, yaitu morfem {book} dan morfem {s}, maka
dipastikan bentuk jamak untuk sheep adalah morfem {sheep} dan morfem {θ}.
Dengan demikian bisa dikatakan bahwa {θ} merupakan salah satu alomorf penanda
jamak dalam bahasa Inggris. Pada data yang kedua kita lihat kala lampau untuk
call adalah called, tetapi kala lampau untuk hit adalah hit juga. Jadi bisa
dideskripsikan bentuk lampau untuk call adalah morfem {call} + {-ed} dan bentuk
lampau untuk hit adalah morfem {hit} + {θ}. Dengan demikian, dapat juga
dikatakan bahwa bahasa Inggris ada alomorf zero untuk morfem penanada kala
lampau.
Di
dalam buku-buku pelajaran sering dikatakan untuk kasus di atas, bahwa bentuk
tunggal dan jamak kata sheep adalah sama yaitu sheep. Namun, untuk konsisten
deskripsi para linguis memerlukan konsep zero. Dengan demikaian deskripsi dapat
dibuat sebagai berikut:
(12) Bentuk Tunggal Bentuk Jamak
Book book + s
Sheep sheep + 0
Anda
tentunya bertanya, bagaiaman deskripsi untuk bentuk feet (bentuk tunggalnya
foot) dan children (bentuk tunggalnya child)? Masalahnya memeang agak berbeda
dengan kasus sheep yang bentuk jamaknya tetap sheep. Pada kasus foot menjadi
feet dan child menjadi children adalah perubahan bentuk, bukan adanya penambahan
atau tidak adanya penambahan. Karena perubahan ini tampaknya berbeda dari
bentuk satu dengan bentuk lain, secara tidak beraturan, dan sukar dikaidahkan
wujudnya, maka dideskripsikan saja sebagai berikut:
(13) feet = foot + jamak
children = child
+ jamak
mice = mouse + jamak
women = women + jamak
Lihat
kembali pembicara pada 4.1.1
5.1.3.5 Morfem Bermakna
Leksikal dan Morfem Tidak Bermakna Leksikal
Pembeda
yang bisa dilakuakan orang adalah dikotomi. Adanya morfem bermakana leksikal
dan tidak leksikal. Yang dimaksud morfem
bermakna lesikal adalah
morfemmorfem secara inheren
telah memiliki makna
pada diriya sendiri, tanpa
perlu berproses dulu
dengan morfem lain. Misalnya,dalam bahasa
Indonesia, morfemmorfem seperti {kuda},{lari},{pergi}, dan {merah}
adalah morfem bermakna leksikal. Oleh karena itu, morfem-morfem seperti ini,
dengan sendrinya sudah dapat digunakan secara bebas, dan mempunyai kedudukan
otonom di dalam peraturan.
Sebaliknya,
morfem tak bermakna leksikal tidak mempunyai makna apaapa pada
dirinya sendiri,baru mempunyai
makna bila digabung
dengan morfem lain.
Dalam suatu proses morfologi.Yang biasa
dimaksud morfem tak
bermakna leksikal ini
adalah morfemmorfem afiks,
seperti {ber},{me}, dan {ter}.
Dalam dikotomi morfem bermakan
leksikal dan tak bermakna leksikal ini, untuk bahasa Indonesia timbul masalah.
Morfem-morfem seperti {juang}, {henti}, dan{gaul}, yang oleh Verhaar disebut
bentuk prakategorial, mempunyai makna atau tidak? Kalau dikatakan mempunyai
makna, jelas morfem-morfem tersebut dapat berdiri sendri sebagai bentuk yang
otonom di dalam pertuturan. Kalau dikatakan tidak bermakna, jelas morfem-morfem
itu bukan afiks. Dalam hal ini barangkali perlu dipisahkan antara konsep dan tataran
semantik dengan konsep dan gramatikal. Secara semantik, morfem-morfem ini
mempunyai makna; tetapi secara gramatikal marfom-morfem ini tidak mempunyai
kebebasan dan otonomi seperti morfem {kuning}, {lari} dan {sikat}.
Ada satu bentuk morfem lagi yang
perlu dibicarakan atau dipersoalkan mempunyai makna leksikal atau tidak, yaitu
morfem-morfem yang di dalam gamatikal berkategori sebagai preposisi dan
konjungsi. Morfem-morfem yang temasuk preposisi dan konjungsi jelas bukan afiks
dan jelas memiliki makna, namun, kebebasan dalam pertuturan juga terbatas,
meskipun tidak pernah terlibat dalam proses morfem afiks. Kedua jenis morfem
ini pun tidak pernah terlibat dalam proses morfologi, padahal afiks terlibat
dalam proses morfologi, meskipun hanya sebagai pembentukan kata.
5.1.4 Morfem Dasar,
Bentuk Dasar, Pangkal (Stem) dan Akar (Root)
Morfem
dasar, bentuk dasar (lebih umum dasar (base) saja) , pangkal (stem), dan akar
(root) adalah empat istilah yang bisa digunakan dalam kajian morfologi. Namun,
seringkali digunakan dengan pengertian yang kurang cermat atau malah berbeda.
Oleh karena itu, sejalan dengan usaha yang dilakukan Lyons (1977:513) dan Matthews
(1972:165 dan 1974:40,73) ada baiknya kita bicarakan dulu sebelum pembahasan
mengenai proses-proses morfologi.
Istilah
morfem adalah dasar biasanya di gunakan sebagai dikotomi dengan morfem afikis.
Jadi, bentuk-bentuk seperti(juang), (kucing) dan (sikat) adalah morfem dasar.
Morfem dasar ini ada yang termasuk morfem terikat, seperti (juang),(henti), dan
(abai); tetapi ada juga yang termasuk morfem bebas seperti (beli), (lari),dan
(kucing), sedangkan morfem afiks, seperti(ber-), dan (-kan) jelas semuanya
termasuk morfem terikat. Perhatikan bagan berikut!
(14) bebas
dasar
Morfem terikat
Afiks
Sebuah
morfem dasar dapat menjadi sebuah bentuk dasar atau dasar (base) dalam suatu
proses morfologi. Artinya, bisa diberi afiks tertentu dalam proses afiksasi,
bisa diulang dalam suatu proses reduplikasi atau bisa digabungkan dengan morfem
lain dalam suatu proses komposisi.
Istilah
bentuk dasar atau dasar (base) saja biasanya digunakan untuk menyebut sebuah
yang menjadi dasar dalam suatu proses morfologi. Bentuk dasar ini dapat berupa
morfem tunggal, tetapi dapat juga berupa gabungan morfen. Umpamanya pada kata
berbicara yang terdiri dari morfem ber- dan bicara, maka bicara adalah menjadi
bentuk dasar dari kata berbicara itu, yang kebetulan juga berupa morfem dasar.
Pada kata dimengerti bentuk dasarnya adalah mengerti; dan pada kata
keaneragaman bentuk dasarnya adalah aneka ragam. Dalam bahasa Inggris kata books
bentuk dasarnya adalah book; dan singers bentuk dasarnya adalah singer;
sedangakan kata singer itu sendri bentuk dasarnya adalah sing.
Istilah
pangkal (stem) di gunakan untuk menyebut bentuk dasar dalam proses infleksi,
atau proses pembubuhan afiks infleksi (Tentang infelksi dan derivasi akan
dibicarakan pada 5.2.3). Contoh bentuk inflektif kita ambil dari bahasa
Inggris. Pada kata books di atasa pangkalnya adalah book. Contoh lain pada kata
untouchables pangkalanya adalah untouchable. Dalam bahasa Indonesia kata
menangisi bentuk pangkalnya adalah tangisi; dan morfem me- adalah sebuah afiks inflektif.
Akar
(root) digunakan untuk menyebut bentuk yang tidak dapat dianalisis lebih jauh
lagi. Artinya akar itu adalah
bentuk yang tersisa
setelah semua afiksnya, baik afiks
infleksional maupun afiks
derivasionalnya ditanggalkan. Misalnya, kata Inggris untouchable akarnya
adalah touch. Proses pembentukan kata untouchabels itu adalah touch diletakan
sufiks able menjadi touchable; lalu diletakan prefiks un- menjadi untouchable;
dan pada akhirnya, diimbuhkan sufiks –s sehingga menjadi untouchlables.
Perhatikan bagan berikut:
(15)
un touch able s
Kalau
diperhatikan dengan bai, kita lihat akar pada contoh di atas sama dengan morfem
dasar, yang menjadi dasar pada bentuk touchable. Kemudian bentuk touchable ini
menjadi dasar dan sekaligus pangkal bagi bentuk untouchable karena sufiks –s
sebagai afiks terakhir yang terletak dalam proses pembentukan kata untouchables
adalah sebuah afiks infleksional. Agar lebih jelas, perhatikan ketiga bagan
perkembangan proses pembentukan kata untouchables tersebut.
(16a)
akar
yang tidak dapat sufiks
dianalisis
lagi (dasar) derivasional
touch able
(16b)
perviks dasar yang
dapat
derivasional dianalisa lagi
un touchable
(16c)
pangkal (stem) sufiks
atau dasar
fleksional
untouchable -s
Dari
ketiga bagan di atas dapat diceritakan, pertama pada dasar touch yang merupakan
akar, karena dapat dianalisa lagi, dibubuhkan sufiks derivational able sehingga
menjadi touchable. Lalu dasar touchable (yang bukan merupakan akar lagi)
dibubuhkan perfiks derivational un- sehingga menjadi untouchable. Akhirnya,
pada dasar untouchable (yang sekarang merupakan pangakal atau stem) dibubuhkan
sufiks infeksional –s, sehingga menjadi kata untouchables.
Mengakhiri
subbab ini perlu diketengahkan ada tiga macam morfem dasar bahasa Indonesia
dilihat dari status atau potensinya dalam proses gramatika yang dapat terjadi
pada morfem dasar itu. Pertama adalah morfem dasar bebas, yakni morfem dasar yang
secara potensial dapat langsung menjadi kata, sehingga langsung dapat digunakan
dalam ujaran. Misalnya, morfem {kuda}, {kursi}, {pergi}, dan {kuning}. Namun,
di sini pun ada derajat kebebasan atau keotonomian yang tidak sama.
Morfem-morfem seperti {dari}, {pada}, dan {kalau} mempunyai derajat kebebasan
yang lebih rendah dari morfem-morfem seperti {meja} dan {kuning} di atas.
(tentanag derajat keotonomian lihat 5.2.1). Kedua , morfem dasar yang kebebasannya
di persoalkan yang ternasuk ini adalah sejumlah morfem berakar verba, yang
dalam kalimat imperatif atau kalimat sisipan, tidak perlu di beri imbuhan; dan
dalam kalimat deklaratif imbuhannya dapat ditanggalkan. Verhaar (1978)
memasukkannya ke dalam kelompok prakategorial, tetapi dalam naskah lain yang
belum diterbitkan disebutnya bentuk pradasar. Ke dalam kelompok ini termasuk
morfem-morfem, seperti {-ajar}, {-tulis}, {-lihat}, dan {-beli}. Ketiga ,
morfem dasar terikat , yakni morfem dasar yang tidak mempunyai potensi untuk
menjadi kata tanpa terlebih dahulu mendapat proses morfologi. Misalnya
morfem-morfem {juang}, {henti}, {gaul}, {abai}. Ke dalam kelompok ketiga ini
dapat dimasukan juga sejumlah morfem yang hanya dapat muncul pada pasangan
tetap, seperti renta (yang hanya muncul pada tua renta), kerontang (yang hanya
muncul pada kering kerontang) dan kuyub (yang hanya muncul pada basah kuyub).
5.2 KATA
Secara
panjang lebar pada subbab 5.1 di atas telah dibicarakan mengenai grmatikal yang
disebut mormem. Namun, istilah dan konsep morfem ini tidak dikenal oleh para
tata bahasawan tradisional. Yang ada dalam tata bahasa bahasa tradisional sebagai
satuan lingual yang selalu dibicarakan adalah satuan yang disebut kata. Apakah
kata itu, bagaimana kaitanya dengan morfem, bgaimana klasifikasinya, bagaimana
pembentukannya, akan dibicarakan berikut ini.
5.2.1 Hakikat Kata
Istilah
kata sering kita dengar dan sering kita gunakan. Malah barang kali kata ini
hamper hampir setiap hari dan saat selalu kita gunakan dalam segala kesempatan
dan untuk segala keperluan. Namun, jika ditanya apakah kata itu? Maka
jawabannya tidak semudah menggunakannya. Para linguis yang sehari-hari bergelut
dengan kata ini, hingga dewasa kini, kiranya tidak mempunyai persamaan pendapat
mengenai konsep apa yang dimaksud dengan kata itu.
Para
tata bahasawan tradisional biasanya memberi pengertian terhadap kata
bardasarkan arti dan ortografi. Menurut mereka kata adalah satuan bahasa yang
memiliki satu pengertian ; atau kata adalah deretan huruf yang diapit oleh dua
spasi, dan mempunyai satu arti. Dalam kajian bahasa Arab malah dikatakan
“kata-kata dalam bahasa Arab biasanya terdiri dari tiga huruf”. Pendekatan arti
dan ortografi dari tata bahasa trdisional ini banya menimbulakn masalah. Kata-kata
seperti sikat, kucin dan spidol memang bisa dipahami sebagai suatu kata; tetapi
benttuk-bentuk seperti matahari, tiga puluh, dan luar negri apakah sebuah kata,
ataukah dua buah kata, bisa diperdebatkan orang. Pendekatan ortografi untuk
bahasa-bahasa yang menggunakan huruf Latin. Pendekatan ortografi ini agak sukar
diterapkan untuk bahasa yang tidak mengunakan huruf Latin, sebab misalnya,
bagaimana kista bisa menentukan spasi pada aksara Cina, Jepang atau juga aksara
Arab.
Pada
tata bahasawaan structural, terutama penganut aliran Bloomfiled, tidak
membicarakan kata sebagai satuan lingual; dan mengantinya dengan satuan yang
disebut morfem. Mereka membahas morfem ini dari berbagai sudut pandang. Tetapi
tidak pernah mempersoalkan apakah kata itu. Batasan kata yang dibuat Bloomfiled
sendiri, yaitu kata adalah satuan bebas terkecil (a minimal free from) titak pernah diualas atu dikomentari, seolah-olah
batasan itu sudah bersifat final. Para linguis setelah Bloomfiled juga tidak
menaruh perhatian khusus terhadap konsep kata. Malah tata bahasa generatif
transformasi, yang dicetuskan dan dikembangkan oleh Chomsky, meskipun menyatakan kata adalah dasar analisis kalimat,
hanya menyajikan kata-kata itu dengan symbol-simbol V (verba), N (nominal), A
(ajektiva) dan sebagainya. Tidak dibicaran hakikat kata secara khusus oleh
kelompok Bloomfiled dan pengikutnya karena dalam analisis bahasa, mereka
melihat hierarki sebagai : fonem, morfonem dan kalimat. Berbeda denga tata
bahasa tradisional yang melihat hierarki bahasa sebagai: kata dan kalimat.
Batasan
kata yang umum kita jumpai dalam berbagai buku linguistik Eropa adalah bahwa
kata merupakan bentuk yang, ke dalam mempunyai susunan fonologis yang stabil
dan tidak berupa , dan keluar mempunyai kemungkinan mobilitas di dalam kalimat.
Batasan tersebut menyiratkan dua hal . Pertama, bahwa setiap kata mempunyai
susunan fonem yang urutannya tetap dan tidak dapat berubah , sertai tidak dapat
diselipi atau diselang oleh fonem lain. Jadi misalnya, kata sikat urutan
fonemnya /s/, /i/, /k/, /a/, dan /t/. urutan ini tidak dapat diubah misalnya
menjadi /s/, /k/, /a/, /i/, dan /t/. adatu diselipkan fonem lain, misalnya
menjadi /s/, /i/, /u/, /k/, /a/ dan /t/. Kedua, setiap kata mempunyai kebebasan
berpindah tempat di dalam kalimat, atau tempatnya dapat diisi atau digunakan
oleh kata lain; atau juga dapat di pisahkan dari kata lainnya.
Ciri
pertama, kiranya tidak menimbulkan masalah: tetap ciri kedua menimbulkan
masalah. Misalnya, kalimat nenek membaca komik itu kemarin. Kalimat itu terdiri
dari liam buah kata, yaitu nenek, membaca, komik, itu, kemarin. Setiap kata
mempunyai susunan dan urutan fonem yang tetap dan tidak dapat diubah tempatnya.
Sebaliknya, posisi setiap kata dapat dipisahkan, dipindahkan atau disela. Misalnya, posisi kata kemarin dapat
dipindahkan, umpamanaya, menjadi kemarin
nenek memabaca komik itu. Atau nenek kemarin membaca komik itu. Sampai disitu
tidak ada masalah. Namun kita tidak bisa menempatkan kata kemarin di antara
kata komik dan kata itu, sebab kontruksi nenek membaca komik kemarin itu tidak
bisa diterima. Ini berarti juga, urutan kata komik itu tidak dapat disela atau
disisipi kata lain. malah sebenarnya kata itu tidak dapat dipindahkan kemana-mana
di dalam kalimat tersebut. Contoh yang serupa adalah kata kau dan di pada
deretan kubaca di kamar. Ternyata, kata kau pada deretan itu tidak dapat
dipindahkan, misalnya menjadi bacaku; kata di juga tidak dapat dipindahkan
menjadi kata kamar di. Oleh karena itu pertanyaan kita sekarang; Jadi, criteria
atau patokan apa yang harus dipakai untuk menentukan sebuah bentuk adalah kata
atau bukan kata. Berkenaan dengan otonomi kata untuk dapat berpindah tempat
dalam kalimat, ada pakar yang menyarankan (Van Wijk 1968) agar diadakan derajat
keotonomian secara morfologis. Misalnya kata itu pada komik itu, atau kau pada
kuambil dan di pada di kamar memang tidak dapat dipisahkan atau dibalik
susunannya. Namun, bentuk-bentuk tersebut dapat dipisahkan dalam hubungan
subordinatif atau koordinatif. Bentuk komik itu dapat dipisah dan memberi
keterangan subordinatif pada kata komik, menjadi kau yang ambil komik itu atau
nenekmu? Begitu juga dengan di kamar dapat dipisah, misalnya menjadi baik di
kamar maupun dari kamar tidak ada bedanya. Jadi, kata-kata di, ke dan sekelas
dengannya tetap punya otonomi untuk berpindah tempat. Hanya, derajat
keotonomiannya itu tidak sama dengan kata-kata seperti kemarin dan barangkali.
Suatu
masalah lagi dari kata ini adalah mengenai yang disebut kata sebagai satuan
gramatikal. Menurut Verhaar (1978) bentuk-bentuk kata bahasa Indonesia
misalnya, mengajar, diajar, kuajar, terajar dan ajarlah bukanlah lima buah kata
yang berbeda, melainkan lima buah kata varian kata yang sama. Bentuk-bentuk
mengajar, pengajar, pengajaran, pelajaran dan ajaran adalah lima buah kata yang
berlainan. Kalau deretan kata-kata yang terakhir disebut lima buah kata yang
berlainnan tentu tidak menjadi pesoalan, meskipun barangkali anda tidak tahu
sebabnya. Namun kalau deretan kata yang pertama dikatankan lima varian dari
sebuah kata yang sama, tentu menjadi persoalan: dan kita pun mengetahui mengapa
disebut demikian.
Dalam
bahasa-bahasa berfleksi, seperti bahasa Latin, bahasa Arab, bahasa Itali dan
bahasa Inggris, setiap kategori kata (verba, nomina, ajektifa dan sebagainya)
biasanya mempunyai bentuk yang sesuai dengan fungsi gramatikal atau sintaksis
kata itu. Kita ambil contoh kata Inggris sing, yang mempunyai bentuk laian
sings, yaitu orang ketiga tunggal. Selain itu ada pula bentuk song, dan bentuk
jamaknya songs. Keempat kata ini, sing, sings, song, songs, bukan lah empat
kata yang berbeda melainkan hanya dua buah kata yang berbeda. Kata sing dan
sings adalah dua bentuk dari kata yang sama. Perbedaanya terletak pada, kata
sing untuk orang pertama dan kata sings untuk orang ketiga tunggal. Kata song
dan songs juag bukan dua buah kata yang berbeda, melainkan sebuah kata yang
sama. Perbedaanya, bentuk song adalah untuk tunggal dan songs untuk jamak.
Jadi, secara grmatikal dari deretan empat buah kata Inggris di atas hanya ada
dua buah kata. Bentuk dasar yang menurunkan kata sing dan sings adalah leksem
SING (dalam studi linguistik untuk menyatakan bentuk leksem selalu digunakan
huruf besar). Yang menurunkan kata song dan songs adalah leksem SONG.
Kalau
anda membuka kamus bahasa Inggris untuk mencari arti kata sings tentu tidak aka
nada. Maksudnya, kata sings itu tidak didaftarkan sebagai entri. Yang
didaftarkan sebagai entri adalah bentuk sing, yaitu bentuk dasarnya atau
leksemnya. Kata yang didaftarkan sebagai entri di dalam sebuah kamus lazim
dikenal dengan nama “bentuk kutip” (citation
from).
Sejalan
dengan keterangan untuk kata sing, sings, song dan songs itulah kita bisa
memahami kalau Verhaar mengatakan bentuk-bentuk mengajar, diajar, kauajar,
terajar dan ajarlah adalah lima buah varian dari kata yang sama. Perbedaan
bentuknya adalah sesuai kedudukan bentuk-bentuk tersebut di dalam kalimat yang
berbeda: mengajar untuk kalimat aktif transitif: diajar untuk kalimat pasif
berpelaku orang ketiga: kuajar untuk kalimat pasif berpelaku orang kedua: terajar
utuk kaliamt pasif yang menyatakan selesai: dan ajarlah untuk kalimat
inmperatif. Lalu, kalau bentuk mengajar, pengajar, pengajaran, pelajaran dan
ajaran dikatakan adalah lima buah kata yang berbeda adalah karena kelima kata
tersebut memiliki identitas leksikal yang berbeda. Keterangannya sama dengan
keterangan untuk menjelaskan bentuk, sing, song dan singer dalam bahasa
Inggris.
5.2.2 Klasifikasi Kata
Istilah
lain yang biasa untuk klasifikasi kata adalah penggolongan kata atau penjenisan
kata: dalam peristilahan bahas Inggris disebut juga part of speech. Klasifikasi
kata ini dalam sejarah linguistik selalu menjadi salah satu topik yang tidak
pernah terlewatkan. Sejak zaman Aristoteles hingga kini, termasuk juga dalam
kajian lingusistik Indonesia, persoalanya tidak pernah tertuntaskan. Hal ini
terjadi , karena pertama setiap bahasa mempunyai cirinya masing-masing; dan
kedua karena kreteria yang digunakan untuk membuat klasifikasi kata itu bisa
bermacam-macam.
Para
tata bahasawan tradisional menggunakan kreteria makna dan kreteria fungsi. Kreteria
makna di gunakan untuk mengidenfikasikan kelas verba, nomina, dan ajektifa, sedangkan
kreteria fungsi di gunakan untuk mengindenfikasikan preposi, konjongsi,
adverbial, pronomia, dan lain-lainnya . Begitulah, menurut tata bahasawan
tradisional ini, yang disebut verba adalah kata yang menyatakan tindakan atau
perbuatan; yang disebut nomina adalah kata yang menyatakan benda atau yang di
bendakan; dan disebut konjungsi adalah
kata yang berfungsi atau berfungsi untuk menghubungkan kata dengan kata, atau
bagian kalimat yang satu dengan bagian yang lain. rumusan verba, nomina dan
konjugsi seperti di atas untuk bahas-bahas berfleksi mungkin tidak terlalu
menimbulkan masalah, sebab ada ciri-ciri morfologis, yang menandai secara
formal kelas-kelas kata tersebut. Tetapi untuk bahas lain, misalnya bahasa
Indonesia, ternyata menimbulkan masalah, sebab ciri morfologis bahasa Indonesia
tidak dapat menolong untuk menentukan kelas kata-kata itu. Berbeda dengan bahas
Inggris, misalnya dalam bahasa semua kata yang berakhiran dengan –tion, sudah
pasti nomina dan yang berakiran –ly sudah pasti adverbial. Dalam bahasa
Indonesia, kata yang berperfiks ter- belum tentu termasuk verba, sebab ada juag
yang termasuk nomina seperti terdakwa dan tertuduh, malah adverbial dalam bahsa
Indonesia tidak memiliki ciri-ciri morfologis.
Para
tata bahasawan strukturalis membuat klasifikasi kata berdasarkan distribusi
kata itu dalam suatu struktur atau konstruksi misalnya, nomina adalah kata yang
dapat berditribusi di belakang kata bukan ; atau dapat mengisi konstruksi
bukan…… Jadi kata-kat seperti buku,
pnsil dan nenek adalah termasuk kata nomina, sebab dapat berdistribusi di
belakang kata bukan itu. Yang temasuk kata verba adalah kata yang berdisribusi
di belakang kata tida atau dapat mengisi kontruksi tidak…. Jadi kata-kata
seperti makan, minum, lari termasuk kelas verba, karena dapat berdistribusi
dibelakang kata tidak itu. Lalu, yang disebut ajektifa adalah kata-kata yang
dapat mengisi konstruksi sangat…. Jadi, kata-kata seperti merah, nakal dan
cantik adalah termasuk kata ajektifa karena dapat berdistribusi di belakang
kata sangat itu.
Kriteria
yang digunakan para tata bahasawan strukturalis dewasa ini, untuk telaah
bahasa-bahasa Indonesia, banyak diikuti orang karena dianggap lebih baik dan
lebih konsisten daripada kriteria yang digunakan tata bahasa tradisional.
Namun, sebenarnya criteria yang digunakan tata bahsa strukturalisa ini juga
banyak menimbukkan persoalan. Misalnya, kalau dapat berdistribusi dengan kata
sangat menjadi ciri ajektifa, maka kata-kata seperti berhasil, memalukan,
menolong dan pemalu juga termasuk kelas ajektifa, sebab keempat kata itu pun
dapat berdistribusi dengan kata sangat. Kita dapat mengatakan sangat berhasil,
sangat memalukan, sangat menolong dan sangat pemalu. Apakah benar kata
berhasil, memalukan, menolong dan pemalu termasuk kelas ajektifa? Bukankah
berhasil termasuk kelas verba intransitif? Bukankah memalukan dan menolong
temasuk kelas verba intransitif , sebab dapat diberi sebuah objek? (misalnya,
memalukan keluaraga dan menolong gadis cantik itu). Juga, bukan kah pemalu
bekelas nomina sebab bisa dikatakan buka pemalu atau juga berkelas verba, sebab
bisa dikatakan tidak pemalu. Jadi, dengan kriteria distribusi ini tampaknya
tampaknya persoalan penggolongan kata belum selesai (untuk bahasa Indonesia).
Ada
juga kelompok linguis yang menggunakan kriteria fungsi sintaksis sebagai
patokan untuk menentukan kelas kata . Secara umum fungsi subjek diisi oleh
kelas nomina; fungsi predikat diisi oleh verba atau ajektifa; fungsi objek oleh
nomina; dan fungsi keterangan oleh adverbia. Oleh karena itu semua kata yang
menduduki fungsi subjek dan objek dimasukan ke dalam kelompok nomina; yang
menduduki fungsi predikat dimasukan ke dalam kelompok verba atau ajektifa.
Patokan atau kriteria ini pun menimbukan masalah, sebab dalam kalimat seperti
bernang itu menyehatkan sudah muncul bebagai tafsiran mengenai kelas kata
berenang. Ada yang menyebutkan kata berenang dalam kalimat menduduki fungsi
subjek; ada yang mengatakan kata berenang dalam kalimat itu tetap verba; ada
yang mengatakan termasuk kata verba yang dinominalkan dan ada juga yang
mengatakan nomina hipostatis. Ada juga yang mengatakan kalimat berengan itu
menyehatkan, yang menyehatkan itu bukan berenang, melainkan kegiatan atau
perbuatan berenang. Jadi, kata berenag itu tetap verba; yang nomina adalah
kegiatan atau perbuatan yang dalam kalimat tersebut diungkapkan (lihat Lapolewa
1990). Begitu pula dalam kalimat, menulis dapat enam, menggambar dapat tujuh;
kata menulis dan menggambar tetap kata verba. Yang nomina adalah “ hasil ujian
(menulis)” dan “hasil ujian (menggambar)”, yang dapat angka enam dan tujuh itu.
Kekeliruan lain yang sering terjadi akibat keyakinan bahwa fungsi-fungsi itu
selau diisi oleh kelas yang sama, maka bentuk-bentuk seperti ke pasar dan kemarin sore dalam kalimat Ibu
pergi ke pasar kemarin sore dimasukan ke dalam golongan averbia. Disini nampak
kekeliruannya konsep fungsi dan konsep kategori.
Dari
uraian di atas tampak bahwa usaha untuk membuat klasifikasi kata (terutama
untuk bahasa Indonesia) bukans esuatu yang mudah. Kriteria yang manapun
digunakan, seperti yang dilakuakan selama ini, selalu menimbulkan maslah yang
cukup ruwet dan sukar untuk diselesaikan. Oleh karena itu, mungkin ada yang
bertanya, adakah manfaat kita membuat klasifikasi kata itu? Kalau ada; apa
gunanya dan kalau tidak ada, kiranya tidak perlulah kita bersusah payah membuat
klasifikasi itu.
Klasifikasi
atau penggolongan kata itu perlu, sebab besar manfaatnya, baik secara teoritis
dalam studi semantik, maupun secara praktis dalam berlatih keterampilan
berbahasa. Dalam mengenal sebuah kelas kata, yang dapat kita indrntifikasikan
dari ciri-cirinya, kita dapat memprediksikan penggunaan atau pendistribusian
kata itu di dalam ujaran, sebab hanya kata-kata yang berciri atau beridentifikasi
yang sama saja yang dapat menduduki suatu fungsi atau suatu distribusi di dalam
kalimat. Umpamanya, kata-kata seperti minum, mandi dan menyanyi dapat
menggantikan distribusi kata makan dalam kalimat Dia sedang makan; tetapi
kat-kata seeperti rumah, lima dan laut tidak dapat mengantikan kata makan itu.
Sebagai
kesimpulan dari pembicaraan kelas kata ini, bisa dikatakan penentuaan kata-kata
berdasarkan kelas atau golongan memang perlu dilakukan. Namun, kalau sampai
kini ternyata banyak menimbulkan persoalan, terutama untuk bahasa Indonesia, kiranya
patokan atau kriteria itu yang perlu dipikirkan kembali, dicari yang memang
betul bisa mengungkapkan ciri yang hakiki dari ciri kelas kata itu. (Tentang
kelas kata dalam bahasa Indonesia, lebih jauh lihat Kridalaksan 1986 dan Ramlan
1985).
5.2.3 Pembetukan Kata
Untuk
dapat di gunakan didalam kalimat pertuturan tertentu maka setiap bentuk dasar,
terutama bahasa fleksi dan aglutunasi, harus di bentuk lebih dahulu menjadi
sebuah kata gramatika, baik melaui proses afiksasi, proses reduplikasi, maupun
proses komposisi. Umpamanya untuk kontruksi kalimat Nenek …. Komik itu di kamar
hanya bentuk kata berprefiks me- yang dapat digunakan menjadi predikat kalimat
itu. Sebaliknya, utntuk kalimat berkontruksi Komi itu …. Nenek di kamar hanya
kata berprefik di- yang dapt digunakan. Begitu juaga untuk kontruksi kalimat ….
itu berlangsung di Gedung Kesenian hanya nomina berkonfiks per-/-an yang dapat
digunakan; sedangkan umtuk kintruksi kalimat … jembatan menelan biaya 100 juta
rupiah, hanya nomina berkonfiks peN-/-an yang dapat digunakan.
Pembentukan
kata ini mempunyai dua sifat , yaitu pertama membentuk kata-kata yang bersifat
inflektif, dan kedua yang bersifat derivatif.
5.2.3.1 Inflektif
Kata-
kata dalam bahasa-bahasa berfleksi, untuk dapat di gunakan di dalam kalimat
harus disesuaikan dulu bentuknya dengan kategori-kategori gramatikal yang
berlaku dalan bahasa itu. Alat yang di gunakan untuk menyesuaikan bentuk itu
biasanya berupa afiks, yang mungkin internal, yakni perubahan yang terjadi di
dalam bentuk dasar itu.
Perubahan
atau penyesuaian bentuk pada verba di sebut konjungsi , perubahan atau
penyesuaian pada nomina dan ajektifa disebut deklinasi. Konjugasi pada verba
biasanya berkenaan dengan kala (tense), aspek, modus , diatesis, persona,
jumlah, jenis. Sedangkan deklinasi biasanya berkenaan dengan jumalah, jenis dan
kasus. Dalam bubu-buku tata bahasa berfleksi, pembahasan biasanya hanya
berkisar pada konjugasi dan deklinasi ini saja. Di siani akan dibberikan
sekedar contoh konjugasi dan deklinasi itu.
Verba
bentuk infinitif bahasa Latin amare ‘mencintai’ untuk persona petama tunggal,
modus indikatif aktif, bentuknya untuk kala (tenes) bebeda adalah sebagai
berikut:
(17) Kala Bentuk Arti
persen amo aku mencintai
imperfekta amabam aku (dulu sedang) mencintai
futura amabo aku akan mencintai
perfekta amavi aku (telah) mencintai
anterior amaveram aku (sebelumnya sudah) mencintai
futura
anterior amavero aku akan (berada dalam keadaan)
mencintai
Sedangkan
untuk kala kini (present) modus indikatif untuk persona yang berbeda, bentuk
amare itu akan menjadi sebagai berikut:
(18) Orang I tunggal amo saya mencintai
Orang
I jamak amamus kami (kita) mencintai
Orang
II tunggal amas engkau mencintai
Orang
II jamak amatis kamu (sekalian) mencintai
Orang
III tunggal amat dia mencintai
Orang
III jamak amant mereka mencintai
Bentu-bentuk
kata yang berbeda itu, seperti amo, amamus, amas, amatis dan amat sesungguhnya
memiliki indentitas leksikal yang sama. Jadi, berarti adalah sebuah kata yang
sama. Hanya bentuknya saja yang berbeda., yang disesuaikan dengan kategori grmatikanya.
Bentuk-bentuk tersebut dalam morfologi infleksional disebut paradigma
infleksional.
Dewasa
ini bahasa-bahasa berfleksi yang ada di dunia ini memang masih ada yang
mempertahankan bentuk-bentuk fleksinya
dengan lengkap, tetapi banyak pula yang bentuk fleksinya sudah tidak
lengkap. Bahasa Inggris, misalnya, fleksinya sudah berkurang; tetapi bahasa
Italia masih cukup lengkap. Bandingkan bentuk-bentuk verba dalam bahasa Inggris
dan bahasa Italia berikut ini:
(19) Bahasa Inggris Bahasa Italia
I
speak parlo
you
(tunggal) speak parli
he/she/it
speaks parla
we
speak parliamo
you
(jamak) speak parlate
they
speak parlano
Dari
daftar tersebut terlihat bahwa dalam bahasa Inggris perubahan bentuk untuk kala
kini (present) hanya terjdai pada orang ketiga tunggal, sedangkan dalam bahas
Italia perubahan itu terjadi untuk semua pronomian. Bahasa Belanda juga
termasuk yang konjugasinya sudah tidak lengkap; tetapi bahasa Arab termasuk
yang masih lengkap.
Deklinasi
atau berubahan bentuk pada kata benda kita lihat contoh dari bahasa Latin.
Untuk kasus nominal tunggal (20) dan jamak (21), sebagai berikut:
(20) Tunggal
Nominatif : dominus ‘tuhan’
(Subjek)
Genitif : domini liber dominorum ‘buku
(milik) tuhan’
Datif : domino ‘kepada
tuhan’
Akusatif : dominum ‘tuhan’
(Objek)
Vokatif : domine ‘tuhan!’
Ablative : domino datur domino ‘diberikan
oleh tuhan’
(21) Jamak
Nominatif : domini ‘tuhan-tuhan’
Genitif : dominorum liber dominorum ‘buku (milik) tuhan-tuhan’
Datif : dominis ‘kepada
tuhan-tuhan’
Akusatif : dominos ‘tuhan-tuhan’
Vokatif : domini ‘tuhan-tuhan!’
Ablative : dominis datur a dominis ‘diberikan
oleh tuhan-tuhan’
Sekarang
kita lihat contoh deklinasi ajektifa dalam bahas Jerman. Menurut jenisnya,
ajektifa dalam bahasa Jerman Mempunyai tiga macam kontruksi, yaitu:
Pertama,
kontruksi ajektifa + nomina, tanpa kata sandang atau pronominal apa-apa di
depan (yaitu “deklinasi kuat” dari ajektifa). Perhatikan bentuk tunggal dan
bentuk jamaknya:
(22) Tunggal Maskulin Feminin Neutrum
‘laki-laki
baik’ ‘wanita baik’ ‘anak baik’
Nominatif : guter
Mann gute Frau gutes Kind
Genitif : guten
Mannes guter Frau guten Kindes
Datif : guten Manne (e) guter
Frau guten Kind (e)
Akusatif : guten
Mann gute Frau gutes Kind
Jamak Semua
Jenis
Nominatif : gute
Manner/Frauen/Kinder
Genitif : guter
Manner/Frauen/Kinder
Datif : guten Mannern/Frauen/Kindem
Akusatif : guten
Manner/Frauen/Kinder
Kedua,
berkontruksi kata sandang definit + ajektifa + nomina (yaitu “deklinasi lemah”
dari ajektifa).
(23) Tunggal Maskulin Feminin Neutrum
Nominatif : der
gute Mann die gute Frau das
gute Kind
Genitif : des
guten Manner der guten Frau des guten Kindes
Datif : des guten Mann (e) der
guten Frau des guten Kind (e)
Akusatif : den
guten Mann der gute Frau das gute Kind
Jamak Semua
Jenis
Nominatif : die
guten Manner/Frauen/Kinder
Genitif : der
guten Manner/Frauen/Kinder
Datif : den guten Mannern/Frauen/Kindem
Akusatif : die
guten Manner/Frauen/Kinder
Ketiga,
berkontruksi kata sandang indefinite + ajektifa + nomina (yakni deklinasi
campuran kuat dan lemah)
(24) Tunggal Maskulin Feminin Neutrum
Nominatif : ein guter Mann eine gute Frau ein
gutes Kind
Genitif : einer guten Mannes einer guten Frau eines guten Kindes
Datif : enien guten Manne einen guten Frau einen guten Kind (e)
Akusatif : enien guten Mann eine gute Frau ein gutes Kind
Dalam
bahasa-bahasa berfleksi biasanya juga ada persesuaian bentuk-bentuk kata untuk
menunjukkan pertalian sintaksisnya. Perhatikan contoh bahasa Prancis berikut.
Untuk memudahkan pemahaman diberikan padannya dalam bahasa Inggris. Perhatikan
juga keterangan gramatikalnya:
(25a) Le petit garcon est part
The little boy has left
(mask.Tg.) (mask.Tg.) (Tg.) (Tg.) (mask.Tg.)
(25b) La petite fille est partie
The little gril has left
(fem.Tg.) (fam.Tg.) (Tg.) (Tg.) (fem.Tg.)
(25c) Les petits garcon sont partis
The little boys have left
(jam.) (mask.jam.) (jam.) (jam.) (mask.jam.)
(25d) Les pitites filles sont parties
The little grils have left
(jam.) (fam.jam.) (jam.) (jam.) (fam.jam.)
Bagaimana
dengan bentuk-bentuk kata dalam bahasa Indonesia? Bahasa Indonesia bukanlah
bahasa berfleksi. Jadi, tidak ada masalah konjungasi dan deklinasi dalam bahasa
Indonesia. Namun, banyak penulis Barat termasuk Verhaar (1978), menyatakan
bentuk-bentuk seperti membaca, dibaca, terbaca, kubaca dan bacalah adalah
paradigm infleksional. Dengan kata lain, bentuk-bentuk tersebut merupakan kata
yang sama. Perbedaan bentuknya adalah berkenaan dengan modus kalimat. Dengan
demikian, perfiks me-, di-, ter-, ku-, dan kau- adalah infleksional.
5.2.3.2 Derivatif
Pembentukan
kata secara infletif, tidak membentuk kata baru, atau lain yang berbeda
identitas leksikalnya dengan bentuk dasarnya. Hal ini berbeda dengan pembentukan
kata secara derivatif atau derivasional. Pembentukan kata secara derivatif
membentuk kata baru, kata yang identitas leksikalnyatidak sama dengan kata
dasarnya. Perbedaan identitas leksikal terutama berkenaan dengan makna sebab
meskipun kelasnya sama tetapi maknanya tidak sama dengan kata dasarnya.
Umpamanya, dari kata Inggris sing ‘menyanyi’ terbentuk kata singer ‘penyanyi’;
dari kata write ‘menulis’ terbentuk kata writer ‘penulis’; dan dari kata hunt ‘memburu’
terbentuk kata hunter ‘pemburu’. Jelas, antara kata sing dan singer berbeda
identitas leksikalnya, sebab selain maknanya berbeda, kelasnya juga tidak sama;
sing berkelas verba, sedangkan singer berkelas nomina. Begitu juga antara write
dengan writer dan hunt dengan hunter. Contoh lain, dari ajektif slow ‘lambat’
dibentuk kata slowly ‘dengan lambat’ yang berkelas adverbial; dan dari ajektifa
quick ‘cepat’ dibentuk adverbial quickly ‘ dengan cepat’. Contoh dalam bahasa
Indonesia dapat diberikan, misalnya, dari kata air yang berkelas nomina
dibentuk menjadi mengairi yang berkelas verba; dari kata makan yang berkelas
verba dibentuk kata makanan yang berkelas nomina.
Perbedaan
identitas leksikal terutama berkenaan dengan makna, sebab meskipun kelasnya sama,
seperti kata makanan dan pemakan, yang sama-sama berkelas nomina, tetapi
maknanya tidak sama. Begitu juga antara pelajar dengan pengajar yang sama-sama
berkelas nomina tetapi bermakna tidak sama; atau antara belajar dengan mengajar
yang kelasnya sama-sama verba tetapi mempunyai makna yang tidak sama.
Dari
pembicaraan pada 5.1.4 dapat kita liahat bahwa pembentukan kata dapat terjadi
bertahap-tahap. Kata untouchables, misalnya yang dibicarakan pada 5.1.4 itu,
terbentuk melaui tahap-tahap sebagai berikut: mula-mula pada dasar touch
dibubuhkan sufiks dervasional able sehingga menjadi touchable; lalu, pada
touchable dibubuhkan pula prefiks derivasional un- sehingga menjadi
untouchable; dan akhirnya pada untouchable itulah dibubuhkan sufiks
infleksional –s, sehingga terbentuklah kata untouchables itu. Sekali lagi,
kalau prosesnya dibagankan adalah sebagai berikut:
(26)
un touch able s
Kata
bahasa Indonesia beraturan terjadi dalam dua tahap. Mula-mula pada dasar atur
diimbuhkan sufiks –an menjadi aturan; setelah itu dasar aturan itu diimbuhkan
pula dengan perfiks ber- sehingga terbentuklah kata, yang memilki arti’
mempunyai aturan’. Bagan pembentukannya adalah sebagai berikut:
(27)
ber atur an
Kata
ketidakikutsertaan terbentuk dalam tiga tahap. Tahap pertama, dasar ikut dan
serta digabungkan menjadi bentuk ikut serta; tahap kedua, bentuk ikut serta
digabungkan pula dengan dasar tidak, sehingga menjadi bentuk tidak ikut serta;
akhirnya pada tahap ketiga, pada bentuk tidak ikut serta itu diimbuhkan konfiks
ke-/-an, sehingga membentuk kata ketidakikutsertaan itu. Perhatikan bagan
berikut:
(28)
ke-/-an tidak ikut serta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar